TIMES KALBAR, MALUKU – Di suatu siang di Pulau Saparua, Maluku Tengah, seorang perempuan jangkung berhenti di sebuah jalan kecil.
Langkahnya terhenti. Matanya menatap seorang anak kecil, duduk di tanah, tubuhnya ringkih. Anak itu bernama Ane Latuperissa.
Bagi Dwi Prihandini, pertemuan itu menjadi awal dari sebuah perjalanan panjang. Perjalanan yang mengubah seluruh hidupnya.
Tahun itu, 2015. Dwi baru saja menginjakkan kaki di Maluku. Seorang perempuan asal Jember, Jawa Timur, kelahiran 9 September 1973, yang sebelumnya menjalani hidup serba berkecukupan.
Ia punya segalanya. Dua apartemen di Depok. Empat mobil mewah Mercy B 1973 DP, Fortuner B 1973 DIN, Avanza DE 1544 DP, Venturer B 973 DP. Belasan tas dan sepatu branded. Dua jam tangan mahal, Cartier dan Tag Heuer.
Tapi siang itu, di Saparua, Dwi menemukan sesuatu yang jauh lebih berharga. Ia menemukan panggilan hatinya.
Sejak bertemu Ane, Dwi tahu ia tidak bisa lagi menutup mata. Ia mulai berkeliling pulau-pulau kecil di Maluku.
Ia menyeberangi laut, menantang badai, berjalan di antara hujan dan terik matahari. Di Kepulauan Aru, ia menemukan seorang anak lain, tergeletak di atas papan kayu. Sendirian. Orang tuanya di kebun, berjuang untuk hidup.
"Saya lihat dia cuma terbaring di situ. Hati saya hancur," kenang Dwi, suaranya serak.
"Saya pikir, kursi roda pun tak ada... makanan pun mungkin kurang," ujarnya lirih.
Tanpa pikir panjang, Dwi kembali. Membawakan kursi roda. Membawakan sembako. Pada 27 Januari 2016, di Ambon, Dwi mendirikan Clerry Cleffy Institute (CCI). Sebuah lembaga nirlaba berbasis psikologi dan kemanusiaan, untuk mengenang almarhum suaminya, Clerry Cleffy Mailuhu.
CCI bergerak senyap tanpa membuka donasi. Tanpa meminta bantuan. Semua Dwi biayai sendiri, dari harta yang dulunya ia kumpulkan dengan susah payah. Satu demi satu aset dilepas. Apartemen, mobil, tas, sepatu, jam tangan semua terjual.
"Saya sudah merasakan hidup mewah," ucapnya ringan. Tapi kebahagiaan sejati tidak bisa dibeli dengan uang," ujarnya.
Sepuluh tahun berlalu. Kini, pada Maret 2025, catatan Dwi mengagumkan, 709 orang disabilitas marjinal telah dibantu, 92 kursi roda telah dibagikan, 300 tongkat jalan, 147 sepeda untuk anak-anak Maluku, 400 kacamata baca untuk para lansia.
Ia menjangkau pulau-pulau kecil terluar Maluku, Leti, Lirang, Marsela, Wetar, Kisar, Metimiarang, Nuhuyut, Selaru, Larat, Asutubun, Karaweira.
Bukan perjalanan yang mudah. Untuk sampai ke satu pulau, kadang butuh berjam-jam perjalanan laut. Kadang badai menghadang. Kadang kapal oleng. Tapi Dwi tetap berangkat.
"Kalau takut badai, kapan lagi kita bisa sampai ke hati mereka?" katanya sambil tertawa kecil.
Hari ini, Dwi hidup sederhana. Ia naik ojek ke mana-mana. Ia berkebun ubi di Maluku. "Panen pertama itu rasanya luar biasa," katanya.
Senyumnya mengembang. Bahagia itu sesederhana, " ujarnya.
Ia percaya, harta benda hanya menumpuk debu. Tapi kebaikan akan tumbuh, berbuah, dan bertahan selamanya.
"Harta itu tidak akan kita bawa mati. Tapi cinta kepada sesama, akan selalu hidup. Bahkan setelah kita tiada," ujarnya.
Dwi Prihandini telah memilih jalan hidupnya. Bukan jalan yang mewah. Tapi jalan yang penuh arti. Jalan cinta, untuk Maluku. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Kisah Dwi Prihandini, Jual Semua Kemewahan Demi Anak-anak Disabilitas Maluku
Pewarta | : Syarifah Latowa |
Editor | : Ronny Wicaksono |